Kamis, 22 Desember 2016

Teori-teori Kebenaran



1.      Teori Kebenaran Keherensi atau Konsistens (The Consistence Theory of Truth atau The Coherence Theory Of Truth)
Teori ini berangkat dari pengetahuan Aristoteles yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang diketahui adala sesuatu yang dapat dikembalikan pada kenyataan yang dikenal oleh subjek, teori ini berpandangan bahwa suatu proposisi bernilai benar apabila saling berkesesuaian dengan dunia kenyataan. Contoh sederhana seperti yang diberikan oleh Surajiyo, pengetahuan air akan menguap jika dipanasi sampai dengan seratus derajat. Pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau kemudian dicoba memanasi air dan diukur sampai seratus derajat, apakah air menguap. Jika terbukti tidak menguap, maka pengetahuan tersebut dinyatakan salah, dan jika terbukti menguap, maka pengetahuan tersebut dinyatakan benar. Dalam hal, yang demikian ini, kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgement) dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan perkataan lain, kebenaran ditegaskan atas hubungan antara putusan yang baru itu dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan diakui kebenarannya terlebih dahulu.

2.      Teori Kebenaran Koresponsden (The Corresponsdence Theory of Truth atau The Accordance of Truth)
Menurut Kattsoff, suatu proposisi cenderung benar jika proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita. Jadi kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian (corresponsdence) antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut.
Pengetahuan itu dinyatakan benar apabila di dalamnya kemanunggalan yang sifatnya intrinsik, intensional, dan pasif-aktif terdapat kesesuaian antara apa yang ada dalam pengetahuan subjek dengan apa yang ada di dalam objek. Hal itu karena puncak dari proses kognitif manusia terdapat di dalam budi atau pikiran manusia (intelectus), maka pengetahuan adalah benar bila apa yang terdapat dalam budi, pikiran subjek itu benar sesuai dengan apa yang ada dalam subjek.
Kebenaran adalah yang bersesuai dengan fakta, berselaras dengan realitas, yang serasi (corresponsdensi) dengan situasi aktual. Dengan demikian, kebenaran dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas objektif, yaitu suatu pernyataan yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi. Kebenaran adalah persesuaian (agreement) antara pernyataan (statement) mengenai fakta dengan fakta actival, atau anatara putusan (judgement) dengan situasi seputar (environmental situation) yang diberi interpretasi.

3.      Teori Kebenaran Pragmatism (The Pragmatic Theory of Truth)
Dasar pandangan teori ini, yaitu dapat digunakan atau bermanfaat. Menurut Kattsoff, teori kebenaran pragmatis ini dasarnya diletakkan oleh penganut pragmatisme yang meletakkan ukuran kebenaran dalam suatu macam konsekuensi atau proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman, pernyataan itu adalah benar.
Teori hipotesis atau ide adalah benar. Dengan demikian, menurut teori ini, suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah apabila ia membawah pada akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila ia mempunyai nilai praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya, dan oleh akibat-akibat praktisnya. Jadi kebenran ialah apa saja yang berlaku atau works.


4.      Teori Kebenaran Berdasarkan Arti (Semantic Theory of Truth)
Teori ini dianut oleh paham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan pascafilsafat Betrand Russel sebagai toko pemula dari filsafat analitika bahasa. Menurut Abbas Hamami, dengan teori ini proposisi itu ditinjau dari segi artinya dan maknanya. Apakah proposisi yang merupakan pangkal tumpunya itu mempunyai referen yang jelas. Oleh sebab itu, teori ini mempunyai tugas untuk menguakkan kesahan dari proposisi dan referensinya.

5.      Teori Kebenaran Sintaksis
Para penganut teori ini berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan memiliki benar apabila pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku. Dengan kata lain, apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang diisyaratkan, maka proposisi tidak mempunyai arti. Jika kalimat tidak ada subjek, maka kalimat itu dinyatakan tidak baku atau bukan kalimat.

6.      Teori Kebenaran Non-Deskrepsi
Teori ini dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme karena pada dasarnya suatu statement atau pernyataan akan mempunyai nilai benar yang amat tergantung pada peran dan fungsi dari pernyataan itu. Jadi pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari.

7.      Teori Kebenaran Logis yang Berkelebihan (Logical Superfluity of Truth)
Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistic yang diawali oleh Ayer. Menurut teori ini problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini merupakan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logis yang sama yang masing-masing saling melingkupinya. Dengan demikian, sesungguhnya setiap proposisi mempunyai isi yang sama, memberikan informasi yang sama dan semua sepakat, maka apabila kita membuktikannya lagi, karena pada dasarnya lingkaran adalah satu garis yang sama jaraknya dari titik yang sama, sehingga berupa garis yang bulat.
Dari kajian teori tentang kebenaran sebagaimana diuraikan di atas, maka kriteria tentang kebenaran dapat dilihat pada hal-hal berikut:
1.      Adanya kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan lain sebelum yang diketahui, diterima serta diakui.
2.      Adanya kesesuaian antara pernyataan dengan fakta atau kenyataan.
3.      Apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia.
4.      Apakah pernyataan tersebut sesuai dengan arti dan maknanya.
5.      Apakah pernyataan tersebut merupakan suatu pernyataan menurut tata bahasa atau aspek gramatikalnya.
6.      Apakah pernyataan tersebut sesuai dengan peran dan fungsinya.
Apakah pernyataan tersebut sesuai dengan suatu keadaan yang logis.






Sukarno Aburaera, Muhadar, Maikun, 2012, Filsafat Hukum Teori dan Praktik, Makassar, Kharisma Putra Utama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar