1.
Teori
Kebenaran Keherensi atau Konsistens (The Consistence Theory of Truth atau The
Coherence Theory Of Truth)
Teori
ini berangkat dari pengetahuan Aristoteles yang menyatakan bahwa segala sesuatu
yang diketahui adala sesuatu yang dapat dikembalikan pada kenyataan yang
dikenal oleh subjek, teori ini berpandangan bahwa suatu proposisi bernilai
benar apabila saling berkesesuaian dengan dunia kenyataan. Contoh sederhana
seperti yang diberikan oleh Surajiyo, pengetahuan air akan menguap jika
dipanasi sampai dengan seratus derajat. Pengetahuan tersebut dinyatakan benar
kalau kemudian dicoba memanasi air dan diukur sampai seratus derajat, apakah
air menguap. Jika terbukti tidak menguap, maka pengetahuan tersebut dinyatakan
salah, dan jika terbukti menguap, maka pengetahuan tersebut dinyatakan benar.
Dalam hal, yang demikian ini, kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara
putusan (judgement) dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta atau realitas, tetapi
atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan perkataan lain,
kebenaran ditegaskan atas hubungan antara putusan yang baru itu dengan
putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan diakui kebenarannya
terlebih dahulu.
2.
Teori
Kebenaran Koresponsden (The Corresponsdence Theory of Truth atau The Accordance
of Truth)
Menurut
Kattsoff, suatu proposisi cenderung benar jika proposisi cenderung benar jika
proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi
lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling
berhubungan dengan pengalaman kita. Jadi kebenaran atau keadaan benar itu
apabila ada kesesuaian (corresponsdence) antara arti yang dimaksud oleh suatu
pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat
tersebut.
Pengetahuan itu
dinyatakan benar apabila di dalamnya kemanunggalan yang sifatnya intrinsik,
intensional, dan pasif-aktif terdapat kesesuaian antara apa yang ada dalam
pengetahuan subjek dengan apa yang ada di dalam objek. Hal itu karena puncak
dari proses kognitif manusia terdapat di dalam budi atau pikiran manusia
(intelectus), maka pengetahuan adalah benar bila apa yang terdapat dalam budi,
pikiran subjek itu benar sesuai dengan apa yang ada dalam subjek.
Kebenaran
adalah yang bersesuai dengan fakta, berselaras dengan realitas, yang serasi
(corresponsdensi) dengan situasi aktual. Dengan demikian, kebenaran dapat
didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas objektif, yaitu suatu pernyataan
yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi. Kebenaran
adalah persesuaian (agreement) antara pernyataan (statement) mengenai fakta
dengan fakta actival, atau anatara putusan (judgement) dengan situasi seputar
(environmental situation) yang diberi interpretasi.
3.
Teori
Kebenaran Pragmatism (The Pragmatic Theory of Truth)
Dasar
pandangan teori ini, yaitu dapat digunakan atau bermanfaat. Menurut Kattsoff,
teori kebenaran pragmatis ini dasarnya diletakkan oleh penganut pragmatisme
yang meletakkan ukuran kebenaran dalam suatu macam konsekuensi atau proposisi
itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian yang memuaskan terhadap
pengalaman, pernyataan itu adalah benar.
Teori
hipotesis atau ide adalah benar. Dengan demikian, menurut teori ini, suatu
kebenaran dan suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah apabila ia
membawah pada akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila
ia mempunyai nilai praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya,
dan oleh akibat-akibat praktisnya. Jadi kebenran ialah apa saja yang berlaku
atau works.
4.
Teori
Kebenaran Berdasarkan Arti (Semantic Theory of Truth)
Teori
ini dianut oleh paham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan pascafilsafat
Betrand Russel sebagai toko pemula dari filsafat analitika bahasa. Menurut
Abbas Hamami, dengan teori ini proposisi itu ditinjau dari segi artinya dan
maknanya. Apakah proposisi yang merupakan pangkal tumpunya itu mempunyai
referen yang jelas. Oleh sebab itu, teori ini mempunyai tugas untuk menguakkan
kesahan dari proposisi dan referensinya.
5.
Teori
Kebenaran Sintaksis
Para
penganut teori ini berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis atau gramatika
yang dipakai oleh suatu pernyataan memiliki benar apabila pernyataan itu
mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku. Dengan kata lain, apabila
proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang diisyaratkan,
maka proposisi tidak mempunyai arti. Jika kalimat tidak ada subjek, maka
kalimat itu dinyatakan tidak baku atau bukan kalimat.
6.
Teori
Kebenaran Non-Deskrepsi
Teori
ini dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme karena pada dasarnya
suatu statement atau pernyataan akan
mempunyai nilai benar yang amat tergantung pada peran dan fungsi dari
pernyataan itu. Jadi pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh pernyataan
itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari.
7.
Teori
Kebenaran Logis yang Berkelebihan (Logical Superfluity of Truth)
Teori
ini dikembangkan oleh kaum positivistic yang diawali oleh Ayer. Menurut teori
ini problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini
merupakan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa yang hendak dibuktikan
kebenarannya memiliki derajat logis yang sama yang masing-masing saling
melingkupinya. Dengan demikian, sesungguhnya setiap proposisi mempunyai isi
yang sama, memberikan informasi yang sama dan semua sepakat, maka apabila kita
membuktikannya lagi, karena pada dasarnya lingkaran adalah satu garis yang sama
jaraknya dari titik yang sama, sehingga berupa garis yang bulat.
Dari
kajian teori tentang kebenaran sebagaimana diuraikan di atas, maka kriteria
tentang kebenaran dapat dilihat pada hal-hal berikut:
1. Adanya
kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan lain sebelum yang
diketahui, diterima serta diakui.
2. Adanya
kesesuaian antara pernyataan dengan fakta atau kenyataan.
3. Apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia.
4. Apakah
pernyataan tersebut sesuai dengan arti dan maknanya.
5. Apakah
pernyataan tersebut merupakan suatu pernyataan menurut tata bahasa atau aspek
gramatikalnya.
6. Apakah
pernyataan tersebut sesuai dengan peran dan fungsinya.
Apakah pernyataan
tersebut sesuai dengan suatu keadaan yang logis.Sukarno Aburaera, Muhadar, Maikun, 2012, Filsafat Hukum Teori dan Praktik, Makassar, Kharisma Putra Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar