Rabu, 21 Desember 2016

Agama, Ilmu, dan Masa Depan Manusia



Agama lebih mengedapankan moralitas dan menjaga tradisi yang sudah mapan (ritual), cenderung ekskusif, dan subjektif. Sementara ilmu selalu mencari yang baru, tidak selalu terikat dengan etika, progresif, bersifat inklusif, dan objektif. Agama dan ilmu memiliki persamaan, yakni bertujuan memberi ketenangan dan memudahkan bagi manusia.
            Agama memberikan ketenangan dari segi batin karena ada janji kehidupan setelah mati, sedangkan ilmu memberi ketenangan dan sekaligus kemudahan bagi kehidupan di dunia. Agama mendorong umatnya untuk menuntut ilmu, hamper semua Kitab Suci menganjurkan umatnya untuk mencari ilmu sebanyak mungkin.
            Karakteristik agama dan ilmu tidak selalu harus dilihat dalam konteks yang bersebrangan, tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana keduanya bersinergi dalam membantu kehidupan manusia yang lebih layak. Contohnya ilmu dan teknologi mampu mengantarkan manusia hidup dalam tataran yang global, yang juga sering disebut dengan era informasi, tetapi kehidupan yang global itu pula yang menyesengsarakan sebagia besar penduduk di kulit bumi ini. Akibat dari kemajuan teknologi informasi, masyarakat miskin di daerah tertentu semakin transparan, sebaliknya orang yang super kaya juga terlihat dengan kasat mata. Tidak hanya persoalan miskin dan kaya yang kasat mata, tetapi persoalan politik sampai hiburan dan bahkan aktivitas nyamuk di hutan belantara sungai Amazon di Amerika latin pun dapat ditonton.
            Teknologi ternyata disadari atau tidak menciptakan sesuatu yang tidak diprediksi sebelumnya. Ilmu dan teknologi mengalami degradasi nilai dan akhirnya dapat memenjarakan ilmu dan teknologi itu dalam satu kerangka tertentu. Jika teknologi dijadikan tujuan dan cita-cita, maka pada gilirannya peradaban teknologi akhirnya berubah menjadi kekuasaan yang membelenggu manusia sendiri.
            Sebagaimana ilmu dan teknologi, agama mendapat tantangan dari rasionalitas manusia yang telah membuktikan diri mampu mengubah penampilan dunia fisik. Perwujudan dari kearifan religius yang unspeakable dikalahkan oleh rasionalitas yang senantiasa melihat persoalan secara teknis sebata alam fisik. Pada tingkat praktis, “agama kuno” memiliki apresiasi terhadap kehidupan yang lebih baik dan ini mengacu kepada jiwa yang lebih ksatria dan mulia; sedangkan “agama modern” mewakili sikap egoistis manusia terhadap lingkungannya, jika bukan memamerkan cara mengesahkan keserakahan, sekadar untuk tidak dianggap kuno.
            Di satu pihak, penerapan rasionalitas dalam agama yang dilakukan oleh mereka yang ingin memodernisasi agama agar sesuai dengan kemajuan zama, atau berpretensi untuk membersihkan agama dari berbagai bid’ah akan memiskinkan agama sekadar pelayan materialisme, karena rasionalitas hanya dapat bekerja pada wilayah logis yang speakable dan bukan wilayah reflektif dari pengetahuan manusia di mana wilayah rasionalitas harus bekerja dua kali dan dengan demikian mengingkari dirinya.
            Manusia merupakan makhluk yang “future-oriented”, tindakan dan pertimbangan pada saat ini penting untuk memprediksi persoalan-persoalan masa depan. Bahkan sejarah penuh dengan contoh-contoh, baik tentang kekejaman manusia maupun tentang pengorbanannya yang telah dilakukannya dengan maksud untuk menjamin terjadinya suatu hari depan yang lebih baik.
            Agama dan ilmu memiliki kesamaan, yakni sama-sama mendesain masa depan manusia. Desain agama lebih jauh dan abstrak, sedangkan ilmu dan teknologi lebih pendek dan konkret. Desain agama untuk memberikan ketenangan hidup setelah hidup, sedangkan desain ilmu dan teknologi untuk masa depan di dunia ini.
            Banyak kaum rasionalis  yang materialistis menganggap bahwa abad modern, abad ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang adalah puncak dari peradaban dan kebudayaan umat manusia. Karena dengan akalnya yang tajam manusia modern dapat menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat mengagumkan, dan menganggap manusia zaman dahulu adalah lebih rendah peradaban dan kebudayaannya karena terlalu diliputi oleh kehidupan yang tidak rasional, takhayul, dan terbelenggu oleh kepercayaan agama yang dogmatis.
            Ilmu pengetahuan dan teknologi memakai “rasio” (akal) yang tajam. Kerohanian, kejiwaan agama memakai “intuisi” (wahyu) sebagai sarana masing-masing untuk membuktikan kebenaran dan menghayati hakikatnya. Ilmu pengetahuan hingga kini dianggap sebagai pengawal kemajuan umat manusia yang akhir-akhir ini secara umum banyak diserang sebagai pembawa berbagai macam ketimpangan dan pencemaran fisik, biologi, sosial, dan budaya.
            Sebagaimana Negara Amerika Serikat yang maju dan makmur telah terjadi krisis kepribadian atau identitas karena derap teknologi lebih banyak mengancam status dan peranan manusia daripada pekerjaannya. Ancaman otomasi adalah sebagian dari krisis identitas tersebut apabila mesin-mesin itu bukan hanya dapat menggantikan manusia, tetapi bahkan dapat melakukan pekerjaannya secara lebih baik dan lebih murah.
            Semua perbedaan pendapat, termasuk perbedaan dibidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama, hendaknya dapat diletakkan dalam perspektif yang serasi dan tepat guna. Sasaran imbauan adalah segenap manusia-manusia di balik ilmu pengetahuan dan teknologi untuk tidak mengembangkan, memproduksikan, dan menggunakan senjata nuklir. Para penanggung jawab utama keselamatan bangsa dan Negara diimbau untuk tidak melakukan rekayasa sosial (social engineering) dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
            Teknologi genetik menghadirkan tantangan terbesar bagi keyakinan agama tradisional. Penguraian kode genom manusia, serta dukungan filosofis untuk upaya tersebut, memaksa untuk dilakukannya pengkajian ulang serta mendalam tentang makna menjadi manusia. Teori determinisme genetika –bahwa gen kita menentukan bukan wujud fisik saja, tetapi juga kecenderungan seksual, tingkat agresi, dan ada kemungkinan kecenderungan keagamaan kita- menyebabkan para teolog mengkaji pemikiran mereka mengenai kehendak bebas, kebutuhan manusia akan agama, bahkan keberadaan tuhan.
            Kata biolog W. French Anderson, bahwa “Teknik yang hebat mempunyai segi buruk yang hebat pula.” Donald Shriver, presiden emeritus pada Union Theological Seminary di New York dan guru besar emeritus di bidang etika di Columbia University, berpendapat bahwa “Karena kita tidak memiliki kearifan mutlak mengenai konsekuensinya, tak dapat ditawar lagi, kita harus waspada manakala konsekuensi itu mulai muncul.” Lebih jauh dia menekankan bahwa “sebagai manusia, kita tentu tak akan luput dari berbuat kesalahan. Demikian juga dengan masyarakat. Namun, sifat baik manusia adalah bisa memaafkan kesalahan dan sekaligus bisa menggunakan kesempatan untuk mencoba lagi memperbaikinya. Agama sering sekali menyebut ihwal peluang kedua yang tampaknya dapat diberikan oleh Tuhan kepada kita, manusia.
            Para pemuka agama Kristen, Yahudi, dan Islam menawarkan konteks untuk direnungkan oleh komunitas ilmiah. Konteks itu dapat berupa “Menurut masa depan yang Anda bayangkan, akan menjadi manusia apakah kita ini; bukan semata apa yang akan kita lakukan, tetapi akan menjadi siapakah kita ini?” Teolog Donald Shriver sependapat. “Kekuatan gabungan antara rasa ingin tahu ilmiah, ambisi teknologi, dan keuntungan ekonomi merupakan kekuatan tangguh. Menurutnya, jalan keluarnya bukanlah bahwa para agamawan atau teolog harus menjadi satu-satunya pihak yang menangani masalah ini, atau menjadi pakar dalam bidang ini. Yang perlu dilakukan adalah dijalinnya kerja sama antara agamawan, insinyur, dan peneliti. Harus ada kearifan, yang tidak mungkin bisa dibangun oleh satu profesi saja.” Akan tetapi, para pemuka agam mempunyai peran, sebagaimana pihak lain, untuk berpartisipasi dalam perdebatan, dan membawa nilai-nilai mereka ke meja diskusi. Berbagai keprihatinan ini begitu jauh membawa pemahaman sifat manusia sehingga agama berperan lebih penting daripada filsafat.
            Ilmu dapat dilumpuhkan oleh biasnya sendiri, sebagaimana juga agama. Di dunia Barat dewasa ini, tujuan ilmu adalah menjelaskan alam fisik, sementara tujuan agama adalah menjelaskan alam spiritual. Ilmu mengira bahwa ilmu tidak memiliki filsafat dan sekedar mengkaji dan mengukur benda secara empiris. Padahal, sesungguhnya, ilmu juga memiliki filsafat: ilmu hanya menganggap penting benda yang empiris. Dan ilmu tidak akan melatih penganutnya untuk berpikir secara filosofis. Mereka hanya akan mempelajari berbagai jenis rumus dan teknologi. Mereka hanya memiliki tikus yang dipasangi neurotransmitter. Dan ini adalah salah-didik yang buruk, yang menimpa para penganut ilmu, dan hal itu harus diubah. Sedangkan penganut agama harus dilatih berpikir dengan cara yang berbeda; kalau tidak, mereka akan tetap bertuhan secara dogmatis. Kita harus memandang agama lebih dari sekedar keyakinan. Para penganut agam harus kembali ke sejumlah pemikir mereka sendiri untuk bersikap agak lebih luwes dan tidak menganut gaya berpikir inkuisisi yang “sederhana”.[1]


[1] Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A., Filsafat Ilmu, 2004, Rajawali Pers, Hal.223/230-247

Tidak ada komentar:

Posting Komentar