Agama lebih mengedapankan moralitas dan
menjaga tradisi yang sudah mapan (ritual), cenderung ekskusif, dan subjektif.
Sementara ilmu selalu mencari yang baru, tidak selalu terikat dengan etika,
progresif, bersifat inklusif, dan objektif. Agama dan ilmu memiliki persamaan,
yakni bertujuan memberi ketenangan dan memudahkan bagi manusia.
Agama
memberikan ketenangan dari segi batin karena ada janji kehidupan setelah mati,
sedangkan ilmu memberi ketenangan dan sekaligus kemudahan bagi kehidupan di
dunia. Agama mendorong umatnya untuk menuntut ilmu, hamper semua Kitab Suci
menganjurkan umatnya untuk mencari ilmu sebanyak mungkin.
Karakteristik
agama dan ilmu tidak selalu harus dilihat dalam konteks yang bersebrangan,
tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana keduanya bersinergi dalam membantu
kehidupan manusia yang lebih layak. Contohnya ilmu dan teknologi mampu
mengantarkan manusia hidup dalam tataran yang global, yang juga sering disebut dengan
era informasi, tetapi kehidupan yang global itu pula yang menyesengsarakan
sebagia besar penduduk di kulit bumi ini. Akibat dari kemajuan teknologi
informasi, masyarakat miskin di daerah tertentu semakin transparan, sebaliknya
orang yang super kaya juga terlihat dengan kasat mata. Tidak hanya persoalan
miskin dan kaya yang kasat mata, tetapi persoalan politik sampai hiburan dan
bahkan aktivitas nyamuk di hutan belantara sungai Amazon di Amerika latin pun
dapat ditonton.
Teknologi
ternyata disadari atau tidak menciptakan sesuatu yang tidak diprediksi
sebelumnya. Ilmu dan teknologi mengalami degradasi nilai dan akhirnya dapat
memenjarakan ilmu dan teknologi itu dalam satu kerangka tertentu. Jika
teknologi dijadikan tujuan dan cita-cita, maka pada gilirannya peradaban
teknologi akhirnya berubah menjadi kekuasaan yang membelenggu manusia sendiri.
Sebagaimana
ilmu dan teknologi, agama mendapat tantangan dari rasionalitas manusia yang
telah membuktikan diri mampu mengubah penampilan dunia fisik. Perwujudan dari
kearifan religius yang unspeakable
dikalahkan oleh rasionalitas yang senantiasa melihat persoalan secara teknis
sebata alam fisik. Pada tingkat praktis, “agama kuno” memiliki apresiasi
terhadap kehidupan yang lebih baik dan ini mengacu kepada jiwa yang lebih
ksatria dan mulia; sedangkan “agama modern” mewakili sikap egoistis manusia
terhadap lingkungannya, jika bukan memamerkan cara mengesahkan keserakahan,
sekadar untuk tidak dianggap kuno.
Di
satu pihak, penerapan rasionalitas dalam agama yang dilakukan oleh mereka yang
ingin memodernisasi agama agar sesuai dengan kemajuan zama, atau berpretensi
untuk membersihkan agama dari berbagai bid’ah
akan memiskinkan agama sekadar pelayan materialisme, karena rasionalitas hanya
dapat bekerja pada wilayah logis yang speakable
dan bukan wilayah reflektif dari pengetahuan manusia di mana wilayah
rasionalitas harus bekerja dua kali dan dengan demikian mengingkari dirinya.
Manusia
merupakan makhluk yang “future-oriented”,
tindakan dan pertimbangan pada saat ini penting untuk memprediksi
persoalan-persoalan masa depan. Bahkan sejarah penuh dengan contoh-contoh, baik
tentang kekejaman manusia maupun tentang pengorbanannya yang telah dilakukannya
dengan maksud untuk menjamin terjadinya suatu hari depan yang lebih baik.
Agama
dan ilmu memiliki kesamaan, yakni sama-sama mendesain masa depan manusia.
Desain agama lebih jauh dan abstrak, sedangkan ilmu dan teknologi lebih pendek
dan konkret. Desain agama untuk memberikan ketenangan hidup setelah hidup,
sedangkan desain ilmu dan teknologi untuk masa depan di dunia ini.
Banyak
kaum rasionalis yang materialistis
menganggap bahwa abad modern, abad ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang
adalah puncak dari peradaban dan kebudayaan umat manusia. Karena dengan akalnya
yang tajam manusia modern dapat menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang sangat mengagumkan, dan menganggap manusia zaman dahulu adalah lebih
rendah peradaban dan kebudayaannya karena terlalu diliputi oleh kehidupan yang
tidak rasional, takhayul, dan terbelenggu oleh kepercayaan agama yang dogmatis.
Ilmu
pengetahuan dan teknologi memakai “rasio” (akal) yang tajam. Kerohanian,
kejiwaan agama memakai “intuisi” (wahyu) sebagai sarana masing-masing untuk
membuktikan kebenaran dan menghayati hakikatnya. Ilmu pengetahuan hingga kini
dianggap sebagai pengawal kemajuan umat manusia yang akhir-akhir ini secara
umum banyak diserang sebagai pembawa berbagai macam ketimpangan dan pencemaran
fisik, biologi, sosial, dan budaya.
Sebagaimana
Negara Amerika Serikat yang maju dan makmur telah terjadi krisis kepribadian
atau identitas karena derap teknologi lebih banyak mengancam status dan peranan
manusia daripada pekerjaannya. Ancaman otomasi adalah sebagian dari krisis
identitas tersebut apabila mesin-mesin itu bukan hanya dapat menggantikan
manusia, tetapi bahkan dapat melakukan pekerjaannya secara lebih baik dan lebih
murah.
Semua
perbedaan pendapat, termasuk perbedaan dibidang ideologi, politik, ekonomi,
sosial, budaya, dan agama, hendaknya dapat diletakkan dalam perspektif yang
serasi dan tepat guna. Sasaran imbauan adalah segenap manusia-manusia di balik
ilmu pengetahuan dan teknologi untuk tidak mengembangkan, memproduksikan, dan
menggunakan senjata nuklir. Para penanggung jawab utama keselamatan bangsa dan
Negara diimbau untuk tidak melakukan rekayasa sosial (social engineering) dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Teknologi
genetik menghadirkan tantangan terbesar bagi keyakinan agama tradisional.
Penguraian kode genom manusia, serta dukungan filosofis untuk upaya tersebut,
memaksa untuk dilakukannya pengkajian ulang serta mendalam tentang makna
menjadi manusia. Teori determinisme genetika –bahwa gen kita menentukan bukan
wujud fisik saja, tetapi juga kecenderungan seksual, tingkat agresi, dan ada
kemungkinan kecenderungan keagamaan kita- menyebabkan para teolog mengkaji
pemikiran mereka mengenai kehendak bebas, kebutuhan manusia akan agama, bahkan
keberadaan tuhan.
Kata
biolog W. French Anderson, bahwa “Teknik yang hebat mempunyai segi buruk yang
hebat pula.” Donald Shriver, presiden emeritus pada Union Theological Seminary
di New York dan guru besar emeritus di bidang etika di Columbia University,
berpendapat bahwa “Karena kita tidak memiliki kearifan mutlak mengenai
konsekuensinya, tak dapat ditawar lagi, kita harus waspada manakala konsekuensi
itu mulai muncul.” Lebih jauh dia menekankan bahwa “sebagai manusia, kita tentu
tak akan luput dari berbuat kesalahan. Demikian juga dengan masyarakat. Namun,
sifat baik manusia adalah bisa memaafkan kesalahan dan sekaligus bisa
menggunakan kesempatan untuk mencoba lagi memperbaikinya. Agama sering sekali
menyebut ihwal peluang kedua yang tampaknya dapat diberikan oleh Tuhan kepada
kita, manusia.
Para
pemuka agama Kristen, Yahudi, dan Islam menawarkan konteks untuk direnungkan
oleh komunitas ilmiah. Konteks itu dapat berupa “Menurut masa depan yang Anda
bayangkan, akan menjadi manusia apakah kita ini; bukan semata apa yang akan
kita lakukan, tetapi akan menjadi siapakah kita ini?” Teolog Donald Shriver
sependapat. “Kekuatan gabungan antara rasa ingin tahu ilmiah, ambisi teknologi,
dan keuntungan ekonomi merupakan kekuatan tangguh. Menurutnya, jalan keluarnya
bukanlah bahwa para agamawan atau teolog harus menjadi satu-satunya pihak yang
menangani masalah ini, atau menjadi pakar dalam bidang ini. Yang perlu
dilakukan adalah dijalinnya kerja sama antara agamawan, insinyur, dan peneliti.
Harus ada kearifan, yang tidak mungkin bisa dibangun oleh satu profesi saja.”
Akan tetapi, para pemuka agam mempunyai peran, sebagaimana pihak lain, untuk
berpartisipasi dalam perdebatan, dan membawa nilai-nilai mereka ke meja
diskusi. Berbagai keprihatinan ini begitu jauh membawa pemahaman sifat manusia
sehingga agama berperan lebih penting daripada filsafat.
Ilmu
dapat dilumpuhkan oleh biasnya sendiri, sebagaimana juga agama. Di dunia Barat
dewasa ini, tujuan ilmu adalah menjelaskan alam fisik, sementara tujuan agama
adalah menjelaskan alam spiritual. Ilmu mengira bahwa ilmu tidak memiliki
filsafat dan sekedar mengkaji dan mengukur benda secara empiris. Padahal,
sesungguhnya, ilmu juga memiliki filsafat: ilmu hanya menganggap penting benda
yang empiris. Dan ilmu tidak akan melatih penganutnya untuk berpikir secara
filosofis. Mereka hanya akan mempelajari berbagai jenis rumus dan teknologi.
Mereka hanya memiliki tikus yang dipasangi neurotransmitter.
Dan ini adalah salah-didik yang buruk, yang menimpa para penganut ilmu, dan hal
itu harus diubah. Sedangkan penganut agama harus dilatih berpikir dengan cara
yang berbeda; kalau tidak, mereka akan tetap bertuhan secara dogmatis. Kita
harus memandang agama lebih dari sekedar keyakinan. Para penganut agam harus
kembali ke sejumlah pemikir mereka sendiri untuk bersikap agak lebih luwes dan
tidak menganut gaya berpikir inkuisisi yang “sederhana”.[1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar