Rabu, 21 Desember 2016

Keseimbangan Indera-Akal-Hati



Kemantapan hidup hanya ditentukan oleh dua hal: kaidah sains dan filsafat di satu pihak dan akidah agama di lain pihak. Filosof-filosof penting abad ini semuanya lebih mementingkan rasa (iman) ketimbang akal, bahkan ada yang menganggap sains dan filsafat itu tidak ada gunanya dipelajari, apalagi dikembangkan. Akibatnya ialah filsafat dan sains tidak berkembang, kehidupan mundur dibandingkan dengan zaman Yunani. Keadaan ini tidak menguntungkan manusia dan kemanusiaan.
Orang-orang rasionalis dan idealis telah mencanangkan kuasa akal, dan benda-benda fisik tidak real. Dengan kata lain, benda-benda fisik itu tidak ada. Orang-orang empirisis juga mencanangkan kuasa akal hasilnya ialah peniadaan roh atau spirit; yang ada hanyalah benda-benda empiris. Jadi, sampai disini roh tidak ada, dan benda juga tidak ada. Yang ada hanyalah orang-orang yang bingung. Yang dipegang ialah pandangan skeptis Hume itu. Skeptisisme itu berlaku juga untuk pandangan filsafat, sains, dan agama. Kant melihat hal ini sangat berbahaya; ini saat yang kritis.
Pada zaman Socrates, ingatlah tatkala “anak panah yang bergerak dengan cepat dapat membuktikan diam” di satu pihak, “semua bergerak” di pihak lain. Socrates berhasil menyelesaikan masalah ini dengan mengajukan argument yang membuktikan bahwa ada kebenaran sains yang tidak relatif, yaitu pengertian umum atau definisi. Di samping itu memang Socrates  mengakui juga bahwa bagian yang relatif pada sains memang ada, yaitu cirri-ciri aksidensi pada definisi tersebut. Perelatifan sains-juga agama-pada zaman Socrates itu sebenarnya akibat yang muncul dari penggunaan logika secara bebas oleh orang-orang sofis.
Argumen-argumen yang diajukan oleh kelompok yang menyimpulkan bahwa jiwa itu tidak ada, yang ada hanyalah benda; dan sebaliknya argumen dari kelompok lain yang membuktikan justru benda tidak ada, yang ada hanyalah jiwa. Ini yang dihadapi oleh Kant.
Sama dengan Socrates, tugas Kant adalah menyelamatkan sains dan agama dari gangguan skeptisisme. Skeptisisme itu pada dasarnya sama dengan esensi filsafat sofisme yang menganggap semua kebenaran itu relatif.
Pendapat yang mengatakan bahwa semua kebenaran itu relatif (termasuk agama, tentunya) adalah pendapat yang sangat berbahaya. Konsekuensi pandangan ini ialah kekacauan (chaos). Karena sains itu relatif maka tidak aka nada kebenaran yang dapat dipegang (dipercaya) bersama. Salah satu akibatnya ialah tidak akan ada perjanjian yang dapat dipegangi kepastiannya, tidak akan ada sesuatu yang menjadi tali pengikat dalam hubungan-hubungan sosial.
Kita memperoleh pelajaran amat penting dari mempelajari Socrates dan Kant. Pelajaran penting itu ialah kira-kira begini: penggunaan logika secara bebas tidak akan dapat menyelamatkan manusia. Janganlah hendaknya penduduk bumi ini menggantungkan nasibnya pada logika, yaitu pada kebenaran yang ditemukan oleh akal logis. Sejarah telah memperlihatkan sekursng-kurangnys dua hal dalam hubungan ini: (1) logika dapat benterokan dengan logika, (2) logika bebas menghasilkan kehidupan tanpa pegangan yang pasti.
Bila dasar-dasar sains (maksudnya dasar-dasar teori sains) harus a priori seperti yang diusulkan oleh Kant, berarti dasar-dasar sains itu sudah berada di dalam daerah filsafat, jadi bukan lagi di dalam daerah sains. Jika kebenaran sains dicari dasarnya pada daerah filsafat, berarti sains itu sudah pasti relatif sebab filsafat sudah jelas relatif pada dasarnya.
Logika memang dapat menghasilkan konglusi yang benar, tetapi sifatnya relatif. Relatif sesuai dengan alur argumennya masing-masing.
Apa ukuran kebenaran sains itu? Ukuran kebenaran sains ialah kelogisan dan bukti empiris. Sains benar logis bila ia logis dan mempunyai bukti empiris. Kata logis di sini ialah adanya hubungan sebab akibat antara satu variable dan variable lainnya. Dan bukti empiris maksudnya bukti nyata yang dapat diukur, dapat diindera yang merupakan bukti nyata tentang adanya hubungan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar