Kemantapan
hidup hanya ditentukan oleh dua hal: kaidah sains dan filsafat di satu pihak
dan akidah agama di lain pihak. Filosof-filosof penting abad ini semuanya lebih
mementingkan rasa (iman) ketimbang akal, bahkan ada yang menganggap sains dan
filsafat itu tidak ada gunanya dipelajari, apalagi dikembangkan. Akibatnya
ialah filsafat dan sains tidak berkembang, kehidupan mundur dibandingkan dengan
zaman Yunani. Keadaan ini tidak menguntungkan manusia dan kemanusiaan.
Orang-orang
rasionalis dan idealis telah mencanangkan kuasa akal, dan benda-benda fisik
tidak real. Dengan kata lain, benda-benda fisik itu tidak ada. Orang-orang
empirisis juga mencanangkan kuasa akal hasilnya ialah peniadaan roh atau
spirit; yang ada hanyalah benda-benda empiris. Jadi, sampai disini roh tidak
ada, dan benda juga tidak ada. Yang ada hanyalah orang-orang yang bingung. Yang
dipegang ialah pandangan skeptis Hume itu. Skeptisisme itu berlaku juga untuk
pandangan filsafat, sains, dan agama. Kant melihat hal ini sangat berbahaya;
ini saat yang kritis.
Pada
zaman Socrates, ingatlah tatkala “anak panah yang bergerak dengan cepat dapat
membuktikan diam” di satu pihak, “semua bergerak” di pihak lain. Socrates
berhasil menyelesaikan masalah ini dengan mengajukan argument yang membuktikan
bahwa ada kebenaran sains yang tidak relatif, yaitu pengertian umum atau
definisi. Di samping itu memang Socrates
mengakui juga bahwa bagian yang relatif pada sains memang ada, yaitu
cirri-ciri aksidensi pada definisi tersebut. Perelatifan sains-juga agama-pada
zaman Socrates itu sebenarnya akibat yang muncul dari penggunaan logika secara
bebas oleh orang-orang sofis.
Argumen-argumen
yang diajukan oleh kelompok yang menyimpulkan bahwa jiwa itu tidak ada, yang
ada hanyalah benda; dan sebaliknya argumen dari kelompok lain yang membuktikan
justru benda tidak ada, yang ada hanyalah jiwa. Ini yang dihadapi oleh Kant.
Sama
dengan Socrates, tugas Kant adalah menyelamatkan sains dan agama dari gangguan
skeptisisme. Skeptisisme itu pada dasarnya sama dengan esensi filsafat sofisme
yang menganggap semua kebenaran itu relatif.
Pendapat
yang mengatakan bahwa semua kebenaran itu relatif (termasuk agama, tentunya)
adalah pendapat yang sangat berbahaya. Konsekuensi pandangan ini ialah
kekacauan (chaos). Karena sains itu
relatif maka tidak aka nada kebenaran yang dapat dipegang (dipercaya) bersama.
Salah satu akibatnya ialah tidak akan ada perjanjian yang dapat dipegangi
kepastiannya, tidak akan ada sesuatu yang menjadi tali pengikat dalam hubungan-hubungan
sosial.
Kita
memperoleh pelajaran amat penting dari mempelajari Socrates dan Kant. Pelajaran
penting itu ialah kira-kira begini: penggunaan
logika secara bebas tidak akan dapat menyelamatkan manusia. Janganlah
hendaknya penduduk bumi ini menggantungkan nasibnya pada logika, yaitu pada
kebenaran yang ditemukan oleh akal logis. Sejarah telah memperlihatkan
sekursng-kurangnys dua hal dalam hubungan ini: (1) logika dapat benterokan
dengan logika, (2) logika bebas menghasilkan kehidupan tanpa pegangan yang
pasti.
Bila
dasar-dasar sains (maksudnya dasar-dasar teori sains) harus a priori seperti yang diusulkan oleh
Kant, berarti dasar-dasar sains itu sudah berada di dalam daerah filsafat, jadi
bukan lagi di dalam daerah sains. Jika kebenaran sains dicari dasarnya pada
daerah filsafat, berarti sains itu sudah pasti relatif sebab filsafat sudah
jelas relatif pada dasarnya.
Logika
memang dapat menghasilkan konglusi yang benar, tetapi sifatnya relatif. Relatif
sesuai dengan alur argumennya masing-masing.
Apa
ukuran kebenaran sains itu? Ukuran kebenaran sains ialah kelogisan dan bukti
empiris. Sains benar logis bila ia logis dan mempunyai bukti empiris. Kata
logis di sini ialah adanya hubungan sebab akibat antara satu variable dan
variable lainnya. Dan bukti empiris maksudnya bukti nyata yang dapat diukur,
dapat diindera yang merupakan bukti nyata tentang adanya hubungan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar