Senin, 26 Desember 2016

Bagaimana Mengajarkan Pembelajaran IPS dalam Perubahan Global?



Wiriaatmadja (2002:276), Guru harus selalu memperbaharui kemahiran profesionalnya (professional skills). Di antara kemahiran guru yang selalu perlu ditingkatkan adalah kemampuan mengajarnya (teaching skills). Melalui pelatihan lokakarya, seminar, atau pertemuan-pertemuan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran), dan lain-lain kemahiran-kemahiran itu dapat diupayakan dan diperoleh dengan mendatangkan narasumber.
            Nana Supriatna (2002:18) menyebut terdapat beberapa strategi dalam mengajarkan keterampilan sosial kepada peserta didik melalui IPS, diantaranya adalah cooperative learning, konstruktivistik dan inquiry. Pertama, Wiriaatmadja (2002:277) juga menyebutkan salah satu aspek dari kemahiran mangajar guru IPS yang dituntut untuk ditingkatkan dengan masuknya arus globalisasi adalah menyajikan pembelajaran IPS dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan model-model pembelajaran yang relevan dengan apa yang menjadi tujuan pembelajaran. Misalnya dengan cooperative learning, maka pelajaran IPS tidak semata-mata menghafal fakta, konsep, dan pengetahuan yang besifat kognitif rendah lainnya serta guru sebagai satu-satunya sumber informasi melainkan akan membawa siswa untuk berpartisipasi aktif, karena mereka akan diminta melakukan berbagi tugas seperti bekerja secara berkelompok, melakukan inkuiri, dan melaporkan hasil kegiatannya kepada kelas.
            Ini berarti bahwa guru bukan satu-satunya yang memberikan informasi karena siswa akan mencari sumber yang beragam dan terlibat dalam berbagai kegiatan belajar yang beragam pula. Sedangkan peran guru kecuali harus bertindak sebagai fasilitator dalam semua kegiatan ini, ia juga harus mengamati proses pembelajaran untuk memberikan penilaian (assessment), tidak hanya untuk perolehan pengetahuan ke-IPS-an (product) saja, melainkan menilai keterampilan social siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung (process), yang mencakup penilaian untuk ranah afektif dan psikomotornya.
            Kedua, Strategi serta pendekatan konstruktivisme yang menempatkan siswa sebagai mitra pembelajaran dapat digunakan oleh guru IPS dalam mengembangkan keterampilan sosial. Keterampilan siswa dalam hal memperoleh, mengolah dan memanfaatkan informasi untuk memiliki, berdayakan dirinya dapat dilakukan melalui proses pembelajaran di kelas. Guru IPS yang konstruktivistis harus dapat memfasilitasi para siswanya dengan kesempatan untuk berlatih dalam mengklasifikasi, menganalisis dan mengolah informasi berdasarkan sumber-sumber yang mereka terima. Sikap kritis siswa terhadap informasi harus dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran di kelas. Guru juga harus selalu membiasakan siswa untuk memprediksi, mengklasifikasi dan menganalisis, dengan demikian aspek kognitif siswa yang dikembangkan tidak hanya keterampilan dalam menghafal dan mengingat melainkan juga menganalisis, memprediksi, mengkritisi dan mengevaluasi informasi yang mereka terima.
            Di era global ini sumber-sumber informasi yang tidak terbatas dapat digunakan sebagai materi pembelajaran IPS untuk mengembangkan keterampilan yang terkait dengan informasi tersebut. Kemajemukan informasi berdasarkan sumber serta keobjektivitasan dan kesubjektivitasan merupakan bahan yang menarik untuk mengembangkan keterampilan tersebut di dalam kelas.
            Ketiga, Menurut Marsh Colin dalam Supriatna (2002:19), Strategi inquiry menekankan peserta didik menggunakan keterampilan sosial dan intelektual, strategi ini menekankan peserta didik menggunakan keterampilan intelektual dalam memperoleh pengalaman baru atau informasi baru melalui investigasi yang sifatnya mandiri. Dengan demikian keterampilan memperoleh informasi baru berdasarkan pengetahuan mengenai informasi atau pengalaman belajar sebelumnya merupakan kondisi baik untuk mengembangkan keterampilan yang terkait untuk menguasai informasi.
            Selanjutnya Supriatna (2002:19), mengatakan beberapa keuntungan strategi ini yang terkait dengan penguasaan informasi diantaranya adalah:
1.      Strategi ini memungkinkan peserta didik melihat isi pelajaran lebih realistik dan positif ketika menganalisis dan mengaplikasikan data dalam memcahkan masalah.
2.      Member kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan isu-isu tertentu, mencari data yang relevan, serta mambuat keputusan yang bermakna bagi mereka secara pribadi,
3.      Menempatkan guru sebagai fasilitator belajar sekaligus mengurangi perannya sebagai pusat kegiatan belajar.
Wiriaatmadja (2002:305-306) mengatakan belajar dan mengajar Ilmu-ilmu Sosial agar menjadi berdaya apabila proses pembelajarannya bermakna (meaningful), yaitu:
a.       Siswa belajar menjalin pengetahuan, keterampilan, kepercayaan, dan sikap yang mereka anggap berguna bagi kehidupannya di sekolah atau di luar sekolah.
b.      Pengajaran ditekankan kepada pendalaman gagasan-gagasan penting yang terdapat dalam topik-topik yang dibahas, demi pemahaman, apresiasi dan aplikasi siswa.
c.       Kebermaknaan dan pentingnya materi pengajaran ditekankan kepada bagaimana cara, penyajiannya dan dikembangkannya melalui kegiatan aktif.
d.      Interaksi di dalam kelas difokuskan pada pendalaman topik-topik terpilih dan bukan pada pembahasan sekilas sebanyak mungkin materi.
e.       Kegiatan belajar yang bermakna dan strategi assessment (penilaian) hendaknya difokuskan pada perhatian siswa terhadap pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan yang penting yang terpateri dalam apa yang mereka pelajari.
f.       Guru hendaknya berpikir refektif dalam melakukan perencanaan/persiapan, pemberlakuan, dan assessment pembelajaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar