Wiriaatmadja
(2002:276), Guru harus selalu memperbaharui kemahiran profesionalnya (professional skills). Di antara
kemahiran guru yang selalu perlu ditingkatkan adalah kemampuan mengajarnya (teaching skills). Melalui pelatihan
lokakarya, seminar, atau pertemuan-pertemuan MGMP (Musyawarah Guru Mata
Pelajaran), dan lain-lain kemahiran-kemahiran itu dapat diupayakan dan
diperoleh dengan mendatangkan narasumber.
Nana Supriatna (2002:18) menyebut
terdapat beberapa strategi dalam mengajarkan keterampilan sosial kepada peserta
didik melalui IPS, diantaranya adalah cooperative
learning, konstruktivistik dan inquiry.
Pertama, Wiriaatmadja (2002:277) juga
menyebutkan salah satu aspek dari kemahiran mangajar guru IPS yang dituntut
untuk ditingkatkan dengan masuknya arus globalisasi adalah menyajikan
pembelajaran IPS dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan model-model
pembelajaran yang relevan dengan apa yang menjadi tujuan pembelajaran. Misalnya
dengan cooperative learning, maka
pelajaran IPS tidak semata-mata menghafal fakta, konsep, dan pengetahuan yang
besifat kognitif rendah lainnya serta guru sebagai satu-satunya sumber
informasi melainkan akan membawa siswa untuk berpartisipasi aktif, karena
mereka akan diminta melakukan berbagi tugas seperti bekerja secara berkelompok,
melakukan inkuiri, dan melaporkan hasil kegiatannya kepada kelas.
Ini berarti bahwa guru bukan
satu-satunya yang memberikan informasi karena siswa akan mencari sumber yang
beragam dan terlibat dalam berbagai kegiatan belajar yang beragam pula.
Sedangkan peran guru kecuali harus bertindak sebagai fasilitator dalam semua
kegiatan ini, ia juga harus mengamati proses pembelajaran untuk memberikan
penilaian (assessment), tidak hanya
untuk perolehan pengetahuan ke-IPS-an (product)
saja, melainkan menilai keterampilan social siswa selama kegiatan pembelajaran
berlangsung (process), yang mencakup
penilaian untuk ranah afektif dan psikomotornya.
Kedua,
Strategi serta pendekatan konstruktivisme yang menempatkan siswa sebagai mitra
pembelajaran dapat digunakan oleh guru IPS dalam mengembangkan keterampilan
sosial. Keterampilan siswa dalam hal memperoleh, mengolah dan memanfaatkan
informasi untuk memiliki, berdayakan dirinya dapat dilakukan melalui proses
pembelajaran di kelas. Guru IPS yang konstruktivistis harus dapat memfasilitasi
para siswanya dengan kesempatan untuk berlatih dalam mengklasifikasi,
menganalisis dan mengolah informasi berdasarkan sumber-sumber yang mereka
terima. Sikap kritis siswa terhadap informasi harus dapat dikembangkan dalam
proses pembelajaran di kelas. Guru juga harus selalu membiasakan siswa untuk
memprediksi, mengklasifikasi dan menganalisis, dengan demikian aspek kognitif
siswa yang dikembangkan tidak hanya keterampilan dalam menghafal dan mengingat
melainkan juga menganalisis, memprediksi, mengkritisi dan mengevaluasi
informasi yang mereka terima.
Di era global ini sumber-sumber
informasi yang tidak terbatas dapat digunakan sebagai materi pembelajaran IPS
untuk mengembangkan keterampilan yang terkait dengan informasi tersebut.
Kemajemukan informasi berdasarkan sumber serta keobjektivitasan dan
kesubjektivitasan merupakan bahan yang menarik untuk mengembangkan keterampilan
tersebut di dalam kelas.
Ketiga,
Menurut Marsh Colin dalam Supriatna (2002:19), Strategi inquiry menekankan peserta didik menggunakan keterampilan sosial
dan intelektual, strategi ini menekankan peserta didik menggunakan keterampilan
intelektual dalam memperoleh pengalaman baru atau informasi baru melalui
investigasi yang sifatnya mandiri. Dengan demikian keterampilan memperoleh
informasi baru berdasarkan pengetahuan mengenai informasi atau pengalaman
belajar sebelumnya merupakan kondisi baik untuk mengembangkan keterampilan yang
terkait untuk menguasai informasi.
Selanjutnya Supriatna (2002:19),
mengatakan beberapa keuntungan strategi ini yang terkait dengan penguasaan
informasi diantaranya adalah:
1. Strategi
ini memungkinkan peserta didik melihat isi pelajaran lebih realistik dan
positif ketika menganalisis dan mengaplikasikan data dalam memcahkan masalah.
2. Member
kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan isu-isu tertentu, mencari data yang
relevan, serta mambuat keputusan yang bermakna bagi mereka secara pribadi,
3. Menempatkan
guru sebagai fasilitator belajar sekaligus mengurangi perannya sebagai pusat
kegiatan belajar.
Wiriaatmadja
(2002:305-306) mengatakan belajar dan mengajar Ilmu-ilmu Sosial agar menjadi
berdaya apabila proses pembelajarannya bermakna (meaningful), yaitu:
a. Siswa
belajar menjalin pengetahuan, keterampilan, kepercayaan, dan sikap yang mereka
anggap berguna bagi kehidupannya di sekolah atau di luar sekolah.
b. Pengajaran
ditekankan kepada pendalaman gagasan-gagasan penting yang terdapat dalam
topik-topik yang dibahas, demi pemahaman, apresiasi dan aplikasi siswa.
c. Kebermaknaan
dan pentingnya materi pengajaran ditekankan kepada bagaimana cara, penyajiannya
dan dikembangkannya melalui kegiatan aktif.
d. Interaksi
di dalam kelas difokuskan pada pendalaman topik-topik terpilih dan bukan pada
pembahasan sekilas sebanyak mungkin materi.
e. Kegiatan
belajar yang bermakna dan strategi assessment (penilaian) hendaknya difokuskan
pada perhatian siswa terhadap pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan yang penting
yang terpateri dalam apa yang mereka pelajari.
f. Guru
hendaknya berpikir refektif dalam melakukan perencanaan/persiapan,
pemberlakuan, dan assessment pembelajaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar