Gender
merupakan jenis kelamin sosial, yang tentunya berbeda dengan jenis kelamin
dalam pengertian biologis. Dikatakan jenis kelamin sosial karena merupakan
suatu keadaan yang telah melekat pada masyarakat yang sudah membudaya dan norma
sosial masyarakat yang diberikan pada kaum laki-laki dan perempuan dan tentu
adanya pembedakan anatara peran jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Pemahaman
konsep gender menurut HT.Wilson (1998) yang memandang gender sebagai “suatu
dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada
kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi
laki-laki dan perempuan”
Sementara
Mansour Fakih (2008:8) mengartikan gender sebagai “suatu sifat yang melekat
pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun
kultural”.
Gender
dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung
jawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung
diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi, serta kontrol
dalam hasil pembangunan laki-laki dan perempuan.
Dalam
teori gender pada mulanya dikenal dua aliran teori, yaitu teori nurture dan
teori nature. Kemudian dikembangkan teori yang bersifat kompromistis yang
disebut teori keseimbangan atau teori equilibrium. Demikian selanjutnya
terdapat beberapa teori yang dapat digunakan untuk membahas permasalahan
gender.
v
Teori Nurtur
Menurut
teori nurture, perbedaan perempuan dan laki-laki adalah hasil konstruksi social
budaya, sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda, sehingga
menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu menyebabkan perempuan
selalu tertinggal dan terabaikan peran dan konstribusinya dalam hidup
berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Konstruksi sosial
menempatkan perempuan dan laki-laki dalam perbedaan kelas. Laki-laki
diidentikkan dengan kelas borjuis, sedangkan perempuan sebagai kelas proletar.
Perjuangan untuk persamaan dipelopori oleh kaum feminis internasional yang
cenderung mengejar kesamaan (sameness) dengan konsep 50:50 (fifty-fifty),
konsep yang kemudian dikenal dengan istilah perfect equality (kesamaan
kuantitas).
Perjuangan tersebut sulit dicapai karena berbagai
hambatan baik dari nilai agama maupun nilai budaya. Berangkat dari kenyataan
tersebut, para feminis berjuang dengan menggunakan pendekatan social konflik,
yaitu konsep yang diilhami oleh ajaran Karl Marx (1818-1883) dan Machiavelli
(1469-1527), dilanjutkan oleh Lockwood (1957) dengan tetap menerapkan konsep
dialektika. Randall Collins (1987) beranggapan bahwa keluarga tempat pemaksaan,
suami sebagai pemilik dan wanita sebagai pelayan. Margit Eiclan beranggapan
bahwa keluarga dan agama adalah sumber terbentuknya budaya dan perilaku
deskriminasi gender. Konsep social konflik menempatkan kaum laki-laki sebagai
kaum penindas (borjuis) dan perempuan sebagai kaum tertindas (proletar). Bagi
kaum proletar tidak ada pilihan lain kecuali dengan perjuangan lain
menyingkirkan penindas demi mencapai kebebasan dan persamaan. Aliran nurture
melahirkan paham social konflik yang banyak dianut masyarakat sosialis komunis
yang menghilangkan strata penduduk (egalitarian). Paham social konflik
memperjuangkan kesamaan proporsional (perfect equality) dalam segala aktivitas
masyarakat, seperti di DPR, militer, manajer, menteri, gubernur, pilot, dan
partai politik. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibuatlah program khusus
(affirmative action) guna memberikan peluang bagi pemberdayaan perempuan agar
bias termotivasi untuk merebut posisi yang selama ini didominasi oleh kaum
laki-laki. Akibatnya sudah dapat diduga, yaitu timbulnya reaksi negative dari
laki-laki yang apriori terhadap perjuangan tersebut yang dikenal dengan
perilaku “male backlash”.
v
Teori Nature
Menurut
teori nature, perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat, sehingga harus
diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan implikasi bahwa kedua
jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dana tugas yang
biasa dipertukarkan. Tetapi ada yang tak biasa dipertukarkan karena memang
secara kodrat alamiahnya. Banyak kaum perempuan yang sadar terhadap kelemahan
teori nurture, lalu beralih ke teori nature. Pendekatan nurture dirasa tidak
menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam hidup berkeluarga dan
bermasyarakat.
Perbedaan biologis diyakini memiliki
pengaruh pada peran yang bersifat naluri (instinct). Perjuangan kelas tidak
pernah mencapai hasil yang memuaskan, karena manusia memerlukan kerjasama
kemitraan secara structural dan fungsional. Manusia, baik perempuan maupun
laki-laki, memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsional masing-masing.
Dalam kehidupan social ada pembagian tugas (dvision of labor). Begitu pula dan
kehidupan keluarga. Harus ada kesepakatan antara suami dan istri, siapa yang
menjadi kepala rumah tangga dan siapa yang menjadi ibu rumah tangga.
Dalam organisasi social juga dikenal
adanya pimpinan dan anggota, atasan dan bawahan, yang mempunyai tugas, fungsi,
dan kewajiban yang berbeda. Aliran ini melahirkan paham structural fungsional
yang menerima perbedaan peran, asal dilakukan secara demokratis dan dilandasi
oleh kesepakatan antara suami dan istri dalam keluarga, atau antara kaum
perempuan dan laki-laki dalam kehidupan masyarakat.
v
Teori Equilibrium (kesimbangan)
Teori
equilibrium atau teori keseimbangan menekankan pada konsep kemitraan dan
keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. Pandangan ini tidak
mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki-laki, karena keduanya harus
bekerja sama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga,
masyarakat, bangsa, dan Negara. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, maka dalam
setiap kebijakan dan strategi pembangunan agar diperhitungkan kepentingan dan
peran perempuan dan laki-laki secara seimbang. Hubungan diantara kedua elemen
tersebut bukan saling bertentangan, melainkan komplementer, saling melengkapi
satu sama lain. R.H. Tawney mengemukakan bahwa keragaman peran apakah karena
factor biologis, etnis, aspirasi, minat, pilihan, atau budaya pada hakekatnya
adalah realita kehidupan manusia. Hubungan antara laki-laki dan perempuan buka
hubungan yang saling bertentangan, bukan dilandasi konflik dikotomis, bukan
pula structural fungsional, melainkan hubungan komplementer, saling melengkapi,
dilandasi kebutuhan kebersamaan guna membangun kemitraan yang harmonis. Ini
karena setiap pihak mempunyai kelebihan
sekaligus kekurangan, kekuatan sekaligus kelemahan yang perlu diisi dan
dilengkapi pihak lain dalam kerja sama yang setara.
v
Teori Adaptasi Awal
Teori
adaptasi awal pada prinsipnya menyatakan bahwa adaptasi awal manusia merupakan
dasar pembagian kerja secara seksual,
sekaligus dasar sobordinasi perempuan. Teori ini dibangun berdasarkan asumsi
sebagai berikut:
1.
Berburu
sangat penting bagi kelangsungan nenek
moyang kita.
2.
Laki-lakilah
yang hampir selalu melakukan kegiatan berburu.
3.
Perempuan
bergantung pada laki-laki untuk memperoleh daging.
4.
Laki-laki
berbagi daging buruannya terutama dengan istri-istri dan anak-anaknya
5.
Sekali
pola pembagian berdasarkan jenis kelamin ini tebentuk, dia tidak berubah sampai
sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar