Senin, 26 Desember 2016

Permasalahan Gender



Gender merupakan jenis kelamin sosial, yang tentunya berbeda dengan jenis kelamin dalam pengertian biologis. Dikatakan jenis kelamin sosial karena merupakan suatu keadaan yang telah melekat pada masyarakat yang sudah membudaya dan norma sosial masyarakat yang diberikan pada kaum laki-laki dan perempuan dan tentu adanya pembedakan anatara peran jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Pemahaman konsep gender menurut HT.Wilson (1998) yang memandang gender sebagai “suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan”
Sementara Mansour Fakih (2008:8) mengartikan gender sebagai “suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural”.
Gender dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi, serta kontrol dalam hasil pembangunan laki-laki dan perempuan.
Dalam teori gender pada mulanya dikenal dua aliran teori, yaitu teori nurture dan teori nature. Kemudian dikembangkan teori yang bersifat kompromistis yang disebut teori keseimbangan atau teori equilibrium. Demikian selanjutnya terdapat beberapa teori yang dapat digunakan untuk membahas permasalahan gender.
v  Teori Nurtur
Menurut teori nurture, perbedaan perempuan dan laki-laki adalah hasil konstruksi social budaya, sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda, sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan konstribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki dalam perbedaan kelas. Laki-laki diidentikkan dengan kelas borjuis, sedangkan perempuan sebagai kelas proletar. Perjuangan untuk persamaan dipelopori oleh kaum feminis internasional yang cenderung mengejar kesamaan (sameness) dengan konsep 50:50 (fifty-fifty), konsep yang kemudian dikenal dengan istilah perfect equality (kesamaan kuantitas).
Perjuangan tersebut sulit dicapai karena berbagai hambatan baik dari nilai agama maupun nilai budaya. Berangkat dari kenyataan tersebut, para feminis berjuang dengan menggunakan pendekatan social konflik, yaitu konsep yang diilhami oleh ajaran Karl Marx (1818-1883) dan Machiavelli (1469-1527), dilanjutkan oleh Lockwood (1957) dengan tetap menerapkan konsep dialektika. Randall Collins (1987) beranggapan bahwa keluarga tempat pemaksaan, suami sebagai pemilik dan wanita sebagai pelayan. Margit Eiclan beranggapan bahwa keluarga dan agama adalah sumber terbentuknya budaya dan perilaku deskriminasi gender. Konsep social konflik menempatkan kaum laki-laki sebagai kaum penindas (borjuis) dan perempuan sebagai kaum tertindas (proletar). Bagi kaum proletar tidak ada pilihan lain kecuali dengan perjuangan lain menyingkirkan penindas demi mencapai kebebasan dan persamaan. Aliran nurture melahirkan paham social konflik yang banyak dianut masyarakat sosialis komunis yang menghilangkan strata penduduk (egalitarian). Paham social konflik memperjuangkan kesamaan proporsional (perfect equality) dalam segala aktivitas masyarakat, seperti di DPR, militer, manajer, menteri, gubernur, pilot, dan partai politik. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibuatlah program khusus (affirmative action) guna memberikan peluang bagi pemberdayaan perempuan agar bias termotivasi untuk merebut posisi yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki. Akibatnya sudah dapat diduga, yaitu timbulnya reaksi negative dari laki-laki yang apriori terhadap perjuangan tersebut yang dikenal dengan perilaku “male backlash”.

v  Teori Nature
Menurut teori nature, perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat, sehingga harus diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan implikasi bahwa kedua jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dana tugas yang biasa dipertukarkan. Tetapi ada yang tak biasa dipertukarkan karena memang secara kodrat alamiahnya. Banyak kaum perempuan yang sadar terhadap kelemahan teori nurture, lalu beralih ke teori nature. Pendekatan nurture dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat.
      Perbedaan biologis diyakini memiliki pengaruh pada peran yang bersifat naluri (instinct). Perjuangan kelas tidak pernah mencapai hasil yang memuaskan, karena manusia memerlukan kerjasama kemitraan secara structural dan fungsional. Manusia, baik perempuan maupun laki-laki, memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsional masing-masing. Dalam kehidupan social ada pembagian tugas (dvision of labor). Begitu pula dan kehidupan keluarga. Harus ada kesepakatan antara suami dan istri, siapa yang menjadi kepala rumah tangga dan siapa yang menjadi ibu rumah tangga.
      Dalam organisasi social juga dikenal adanya pimpinan dan anggota, atasan dan bawahan, yang mempunyai tugas, fungsi, dan kewajiban yang berbeda. Aliran ini melahirkan paham structural fungsional yang menerima perbedaan peran, asal dilakukan secara demokratis dan dilandasi oleh kesepakatan antara suami dan istri dalam keluarga, atau antara kaum perempuan dan laki-laki dalam kehidupan masyarakat.

v  Teori Equilibrium (kesimbangan)
Teori equilibrium atau teori keseimbangan menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki-laki, karena keduanya harus bekerja sama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, maka dalam setiap kebijakan dan strategi pembangunan agar diperhitungkan kepentingan dan peran perempuan dan laki-laki secara seimbang. Hubungan diantara kedua elemen tersebut bukan saling bertentangan, melainkan komplementer, saling melengkapi satu sama lain. R.H. Tawney mengemukakan bahwa keragaman peran apakah karena factor biologis, etnis, aspirasi, minat, pilihan, atau budaya pada hakekatnya adalah realita kehidupan manusia. Hubungan antara laki-laki dan perempuan buka hubungan yang saling bertentangan, bukan dilandasi konflik dikotomis, bukan pula structural fungsional, melainkan hubungan komplementer, saling melengkapi, dilandasi kebutuhan kebersamaan guna membangun kemitraan yang harmonis. Ini karena  setiap pihak mempunyai kelebihan sekaligus kekurangan, kekuatan sekaligus kelemahan yang perlu diisi dan dilengkapi pihak lain dalam kerja sama yang setara.

v  Teori Adaptasi Awal
Teori adaptasi awal pada prinsipnya menyatakan bahwa adaptasi awal manusia merupakan dasar pembagian  kerja secara seksual, sekaligus dasar sobordinasi perempuan. Teori ini dibangun berdasarkan asumsi sebagai berikut:
1.      Berburu sangat penting  bagi kelangsungan nenek moyang kita.
2.      Laki-lakilah yang hampir selalu melakukan kegiatan berburu.
3.      Perempuan bergantung pada laki-laki untuk memperoleh daging.
4.      Laki-laki berbagi daging buruannya terutama dengan istri-istri dan anak-anaknya
5.      Sekali pola pembagian berdasarkan jenis kelamin ini tebentuk, dia tidak berubah sampai sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar