Ada
beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh pada tingkat adaptasinya. Di antara
faktor-faktor itu ada yang berkaitan erat dengan suasana keluarga, kondisi
sosial dan ekonomi keluarga, posisi remaja dalam keluarganya, dan perbedaan
jenis kelamin.
a.
Suasana keluarga
1) Hubungan
keluarga yang baik
Ketidakharmonisan hubungan remaja dengan
anggota-anggota keluarga diakibatkan oleh kesalah keduanya. Dengan adanya
konflik antara orangtua dan remaja, orangtua tidak dapat dipersalahkan
sepenuhnya, karena apa yang dilakukannya memiliki tujuan yang positif bagi
remaja. Hanya saja caranya yang terkadang kurang mengena. Remaja pun juga tidak
dapat dipersalahkan sepenuhnya, karena apa yang dilakukannya merupakan tuntutan
tugas perkembangannya. Hanya saja, cara yang ditempuhnya terkadang terlalu
radikal.
Seiring dengan perkembangan masa remaja,
konflik itu akan berkurang dan hubungan orangtua dan remaja pun menjadi lebih
menyenangkan dan penuh kasih sayang. Hubungan ini semakin membaik, terutama
saat orangtua mulai menyadari bahwa anaknya bukan lagi anak kecil, dan tidak
harus bersikap negatif terhadap orangtua. Dengan saling menyesuaikan diri,
hubungan orangtua-remaja akan lebih santai dan rumah pun menjadi tempat yang
lebih menyenangkan.
Bentuk hubungan itu juga terjadi antara
remaja dengan saudara kandung, kakek, nenek dan saudaranya yang lain. Konfik di
antara mereka akan bekurang bila remaja menyadari saudaranya berbeda dengan
dirinya, seorang kakak bersikap seperti terhadap adik-adiknya, kakek dan nenek
serta keluarga yang lain pun remaja dapat menerima dengan lapang dada,
keberadaan remaja tanpa banyak mengkritik perilaku dan penampilan remaja.
Jadi, suasana keluarga yang tenang dan
penuh curahan kasih sayang dari orang-orang dewasa yang ada di sekelilingnya,
akan menjadi remaja dapat berkembang secara wajar dan mencapai kebahagiaan.
2) Suasana
keluarga yang retak
Ketidakharmonisan hubungan antara remaja
dan keluarga menjadi sebab terjadinya rumah tangga yang retak. Suasana ini
dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain perceraian orangtua, terlalu sibuk
bekerja, salah satu orangtua sudah tiada, orangtua dan keluarga lainnya tidak
mau mengerti tugas perkembangan remaja, atau remaja sendiri tidak mau peduli
terhadap tugas-tugas yang seharusnya dipikulnya dalam keluarga. Suasana inilah
yang menjadikan keluarga itu retak, atau lebih dikenal dengan sebutan broken home.
Menurut Halley, faktor terpenting
terjadinya berbagai penyimpangan remaja adalah adanya konflik perselisihan
berkepanjangan dalam sebuah rumah tangga, khususnya bila kedua orangtua sengaja
menjadikan anak sebagai sumber konflik.
Jadi, suasana rumah tangga yang penuh
konflik, akan berpengaruh negative terhadap kepribadian dan kebahagiaan remaja,
yang pada akhirnya mereka melampiaskan perasaan jiwanya dalam berbagai
pergaulan dan perilaku yang menyimpang.
c) Kondisi
sosial ekonomi keluarga
Kondisi sosial ekonomi keluarga yang
tidak memungkinkan remaja untuk memiliki simbol − simbol status sosial yang
sama dengan yang dimiliki teman-teman sebayanya, seperti pakaian, kendaraan,
HP, dan hal lainnya akan membuat remaja merasa rendah diri atau minder dalam
pergaulan sosial, bahkan menghambat perkembangan dan kemajuannya. Sebaliknya,
kondisi sosial ekonomi keluarga yang mapan akan membuat remaja sangat percaya
diri dan cepat berkembang mencapai kemajuan yang diharapkan. Akan tetapi,
gambaran ini tidak selamanya demikian, karena terkadang ada juga remaja yang
berada dalam kondisi sosial ekonomi kurang malah terpacu untuk memperbaiki
kondisinya dan tidak pernah berhenti berusaha sebelum mencapai keberhasilan.
Sebaliknya, ada pula remaja yang tinggal dalam keluarga berstatus sosial
ekonomi mapan malah tidak mengalami kemajuan apa − apa, bahkan berperilaku
menyimpang, karena dia merasa bahwa segala kebutuhannya sudah terpenuhi
sehingga tidak perlu lagi usaha keras untuk meraih kesuksesan.
b. Posisi
remaja dalam keluarga
Meskipun pada tingkatan usia yang
berbeda − beda, umumnya antara adik perempuan dengan kakak laki − laki atau
sebaliknya, atau antara adik laki − laki dan kakak laki − laki terjalin
hubungan yang sangat kuat. Terkadang, anak yang lebih besar yang berperan
sebagai pelindung ikut campur dalam proses kebebasan adiknya, sehingga terjadi
pula konflik di antara keduanya, meskipun tidak setajam konflik dengan orang
tuanya.
Adler berpendapat, “Dari aspek
perkembangan psikologis, terdapat perbedaan yang cukup signifikan anatara anak
pertama dan anak kedua, karena anak pertama memiliki posisi khusus dalam
keluarga. Sejak lahir, anak pertama menjadi pusat perhatian dan kasih sayang
karena merupakan anak satu − satunya.”
1.2.
Pertumbuhan dan perkembangan sikap, perasaan atau emosi
Sejak
bergaul dengan lingkungan, sikap, perasaan atau emosi seseorang telah ada dan
berkembang. Timbulnya sikap, perasaan atau emosi, baik positif atau negatif,
merupakan hasil pengamatan dari pengalaman individu secara unik dengan benda −
benda fisik lingkungannya, dengan orangtua dan saudara-saudaranya, serta
pergaulan sosial yang lebih luas. Sebagai suatu hasil dari lingkungan yang
berkembang, baik lingkungan internal maupun eksternal, sikap, perasaan atau
emosi pun berkembang.
Sikap remaja awal yang berkembang lebih
menonjol adalah sikap sosial, terlebih lagi sikap sosial yang berkaitan dengan
teman sebaya. Setelah mengenal kepentingan dan kebutuhan yang sama, sikap
positif remaja awal terhadap teman sebaya berkembang pesat. Sikap setia kawan
sangat dirasakan dalam kehidupan kelompok, baik yang dibentuk secara sengaja
maupun yang terbentuk dengan sendirinya. Dalam usia remaja awal, simpati dan
empati sudah mulai berkembang. Remaja berusaha bersikap sesuai dengan
norma-norma kelompoknya. Sikap itu selalu dipertahankan remaja meskipun bisa
menimbulkan berbagai konflik antara remaja dengan orang tuanya akibat perbedaan
nilai.
Perasaan marah, malu, takut, cemas,
cemburu, iri hati, sedih, gembira, kasih sayang dan ingin tahu termasuk
bentuk-bentuk emosi yang sering tampak pada masa remaja awal. Pada umumnya,
mereka belum mampu mengontrol emosinya yang negatif karena emosinya lebih
mendominasi tingkah lakunya.
Hurlock berpendapat bahwa remaja-remaja
dapat menghilangkan unek-unek atau kekuatan-kekuatan yang ditimbulkan oleh
emosi dengan cara mengungkapkan hal-hal yang menimbulkan emosi-emosi itu dengan
seseorang yang dipercayainya. Menghilangkan kekuatan-kekuatan emosi terpendam
tersebut disebut juga emotional catharsis.
Kekuatan emosi yang terpendam itu dapat dilakukan dengan cara bermain, bekerja,
dan mengatakannya kepada orang yang bisa menggambarkan segala masalah yang
dihadapi remaja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar