Dalam
perkawinan, aspek budaya dan aspek biologis manusia sangat erat terkait karena
menyangkut prokreasi dalam populasi.
Populasi, dalam pengertian biologis,
adalah sekelompok individu satu spesies yang mendiami suatu teritori dan yang
saling kawin-mawin (breeding population) dan yang dalam proses kawin-mawin itu
terisolasi dari kelompok sejenis lainnya (Halicz, 1961). Dengan demikian, genom
setiap anggota populasi dan yang dikenal sebagai genotipe, merupakan milik bersama
kelompok ini dan disebut gene pool. Gen-gen yang merupakan gene pool ini, tetap
beredar dalam populasi dan menentukan rupa biologisnya.
Pada makhluk hidup, selain pada
manusia, proses kawin-mawin ini dalam populasi umumnya bebas dan secara
teoretis dapat disebut panmiksi, yakni perjodohan bebas dan acak. Pada manusia,
perkawinan diatur oleh adat, agama serta faktor sosial-budaya. Oleh karena itu,
pada manusia pengertian populasi menjadi sedikit lebih rumit.
Dari segi biologis sangat penting
juga persoalan jumlah individu dalam suatu populasi. Populasi besar tetap dalam
keseimbangan genetis dan dengan ini sanggup mempertahankan status quo-nya,
dalam arti terdapat keseimbangan antara homo-zigot dan hetero-zigot. Populasi
kecil sangat gampang dapat mengalami goncangan genetis, karena terdominasi oleh
mutan-mutan dan cenderung ke arah dominasi homo-zigot. Karena itu, populasi
kecil cenderung merosot secara biologis (inbreeding depression) (Bodmer &
Cavalli-Sforza 1976, Schwidetzky, 1971).
1. Upacara Perkawinan di dalam
Kebudayaan Jawa
Secara teoritik-konsepsional dalam
budaya Jawa dikenal konsep meminang, yaitu pihak keluarga laki-laki meminang
terhadap perempuan. Berdasarkan tradisi Jawa, ternyata perkawinan selalu
didasarkan atas kesepakatan awal yang disebut sebagai meminang atau lamaran, di mana pihak keluarga
laki-laki meminang kepada pihak keluarga perempuan. Meskipun kegiatan ini penuh
basa-basi, tentunya memegang peran penting sebab kesepakatan untuk melakukan
ikatan besanan ditentukan oleh proses
awal ini.
2. Upacara di dalam Tradisi Perkawinan
Di dalam tradisi Jawa, upacara yang
terkait dengan kehidupan dikonsepsikan oleh para ahli antropologi sebagai
upacara lingkar hidup yang dikonsepsikan oleh orang Jawa sebagai slametan, yaitu suatu upacara makan
bersama makanan yang telah diberi doa sebelum dibagi-bagikan. Slametan tidak terpisahkan dari
pandangan alam pikiran partisipasi dan erat hubungannya dengan kepercayaan pada
unsur-unsur kekuatan sakti maupun makhluk-makhluk halus. Slametan ditujukan agar tidak ada gangguan apa pun di dalam
kehidupan manusia.
3. Hubungan Suami-Istri antara Hak dan
Kewajiban
Suami dan istri adalah konsep yang
diakibatkan oleh adanya proses perkawinan antara dua jenis kelamin, laki-laki
dan perempuan, yang telah bersepakat untuk mengikat dan berserikat dalam sebuah
lembaga keluarga yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban dalam mengarungi
sebuah kehidupan bersama.
Kesepakatan mengenai tali perkawinan
pada dasarnya dilandasi oleh kenyataan bahwa kedua makhluk ini saling memiliki
perbedaan baik yang bersifat natural maupun potensi. Oleh karena itu, selalu
ada konsepsi dikotomis ketika melihat relasi antara laki-laki dan perempuan di
dalam konteks konstruksi sosial, baik yang berasal dari paham keagamaan, sosial
maupun budaya.
4. Perubahan Kebudayaan
Perubahan tradisi pada suatu
komunitas dapat dilihat dari perspektif perubahan kebudayaan. Secara teoritis,
perubahan kebudayaan mencakup lima hal pokok. Pertama, perubahan sistem nilai yang prosesnya mulai dari penerimaan
nilai baru dengan proses integrasi ke disintegrasi untuk selanjutnya menuju
reintegrasi. Kedua, perubahan sistem
makna dan sistem pengetahuan, yang berupa penerimaan suatu kerangka makna
(kerangka pengetahuan), penolakan, dan sikap penerimaan makna baru dengan
proses orientasi ke disorientasi ke reorientasi sistem kognitifnya. Ketiga, perubahan sistem tingkah laku
yang berproses dari penerimaan tingkah laku, penolakan dan penerimaan tingkah
laku baru. Keempat, perubahan sistem
interaksi, di mana akan muncul gerak sosialisasi melalui disosialisasi ke
resosialisasi. Kelima, perubahan
sistem kelembagaan/pemantapan interaksi, yakni pergeseran dari tahapan
organisasi ke disorganisasi ke reorganisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar