Senin, 26 Desember 2016

PERKAWINAN



Dalam perkawinan, aspek budaya dan aspek biologis manusia sangat erat terkait karena menyangkut prokreasi dalam populasi.
            Populasi, dalam pengertian biologis, adalah sekelompok individu satu spesies yang mendiami suatu teritori dan yang saling kawin-mawin (breeding population) dan yang dalam proses kawin-mawin itu terisolasi dari kelompok sejenis lainnya (Halicz, 1961). Dengan demikian, genom setiap anggota populasi dan yang dikenal sebagai genotipe, merupakan milik bersama kelompok ini dan disebut gene pool. Gen-gen yang merupakan gene pool ini, tetap beredar dalam populasi dan menentukan rupa biologisnya.
            Pada makhluk hidup, selain pada manusia, proses kawin-mawin ini dalam populasi umumnya bebas dan secara teoretis dapat disebut panmiksi, yakni perjodohan bebas dan acak. Pada manusia, perkawinan diatur oleh adat, agama serta faktor sosial-budaya. Oleh karena itu, pada manusia pengertian populasi menjadi sedikit lebih rumit.
            Dari segi biologis sangat penting juga persoalan jumlah individu dalam suatu populasi. Populasi besar tetap dalam keseimbangan genetis dan dengan ini sanggup mempertahankan status quo-nya, dalam arti terdapat keseimbangan antara homo-zigot dan hetero-zigot. Populasi kecil sangat gampang dapat mengalami goncangan genetis, karena terdominasi oleh mutan-mutan dan cenderung ke arah dominasi homo-zigot. Karena itu, populasi kecil cenderung merosot secara biologis (inbreeding depression) (Bodmer & Cavalli-Sforza 1976, Schwidetzky, 1971).
1.      Upacara Perkawinan di dalam Kebudayaan Jawa
          Secara teoritik-konsepsional dalam budaya Jawa dikenal konsep meminang, yaitu pihak keluarga laki-laki meminang terhadap perempuan. Berdasarkan tradisi Jawa, ternyata perkawinan selalu didasarkan atas kesepakatan awal yang disebut sebagai meminang atau lamaran, di mana pihak keluarga laki-laki meminang kepada pihak keluarga perempuan. Meskipun kegiatan ini penuh basa-basi, tentunya memegang peran penting sebab kesepakatan untuk melakukan ikatan besanan ditentukan oleh proses awal ini.

2.      Upacara di dalam Tradisi Perkawinan
          Di dalam tradisi Jawa, upacara yang terkait dengan kehidupan dikonsepsikan oleh para ahli antropologi sebagai upacara lingkar hidup yang dikonsepsikan oleh orang Jawa sebagai slametan, yaitu suatu upacara makan bersama makanan yang telah diberi doa sebelum dibagi-bagikan. Slametan tidak terpisahkan dari pandangan alam pikiran partisipasi dan erat hubungannya dengan kepercayaan pada unsur-unsur kekuatan sakti maupun makhluk-makhluk halus. Slametan ditujukan agar tidak ada gangguan apa pun di dalam kehidupan manusia.

3.      Hubungan Suami-Istri antara Hak dan Kewajiban
          Suami dan istri adalah konsep yang diakibatkan oleh adanya proses perkawinan antara dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, yang telah bersepakat untuk mengikat dan berserikat dalam sebuah lembaga keluarga yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban dalam mengarungi sebuah kehidupan bersama.
          Kesepakatan mengenai tali perkawinan pada dasarnya dilandasi oleh kenyataan bahwa kedua makhluk ini saling memiliki perbedaan baik yang bersifat natural maupun potensi. Oleh karena itu, selalu ada konsepsi dikotomis ketika melihat relasi antara laki-laki dan perempuan di dalam konteks konstruksi sosial, baik yang berasal dari paham keagamaan, sosial maupun budaya.



4.      Perubahan Kebudayaan
          Perubahan tradisi pada suatu komunitas dapat dilihat dari perspektif perubahan kebudayaan. Secara teoritis, perubahan kebudayaan mencakup lima hal pokok. Pertama, perubahan sistem nilai yang prosesnya mulai dari penerimaan nilai baru dengan proses integrasi ke disintegrasi untuk selanjutnya menuju reintegrasi. Kedua, perubahan sistem makna dan sistem pengetahuan, yang berupa penerimaan suatu kerangka makna (kerangka pengetahuan), penolakan, dan sikap penerimaan makna baru dengan proses orientasi ke disorientasi ke reorientasi sistem kognitifnya. Ketiga, perubahan sistem tingkah laku yang berproses dari penerimaan tingkah laku, penolakan dan penerimaan tingkah laku baru. Keempat, perubahan sistem interaksi, di mana akan muncul gerak sosialisasi melalui disosialisasi ke resosialisasi. Kelima, perubahan sistem kelembagaan/pemantapan interaksi, yakni pergeseran dari tahapan organisasi ke disorganisasi ke reorganisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar