Senin, 26 Desember 2016

Dekonstruksi Pendidikan



Epistemologi selalu dimengerti sebagai upaya manusia melihat dirinya yang menghasilkan pengetahuan. Dari upaya itu, manusia kemudian merumuskan unsur-unsur mendasar yang dijadikan sebagai perangkat manusia untuk mengetahui. Unsur-unsur itu adalah persepsi, nalar, dan intuisi. Pembangunan struktur pengetahuan yang didasarkan pada kaidah-kaidah nalar, terbukti telah jatuh pada pemikiran yang bersifat saintisme. Dalam bahasa gampangnya, saintisme adalah “sok ilmiah”. Karena itu, perlu adanya pemikiran-pemikiran yang mendobrak gagasan sebelumnya.
Dalam wacana ilmu-ilmu alam, pendobrakan ini disebut dengan istilah revolusi ilmu pengetahuan. Istilah tersebut digunakan oleh Thomas S Kuhn, ahli filsafat ilmu. Perlu ada patahan-patahan teori untuk temuan-temuan baru. Yang dibutuhkan bukan konvensi, tetapi inkovensi. Karena itu, metode yang dibutuhkan bukan metode-metode yang sudah pakem, tetapi metode-metode baru yang dirumuskan dengan istilah anything goes, segala metode boleh dipergunakan. Metode tersebut diperkenalkan oleh Paul Feyerabend. Yang dibutuhkan bukanlah menuruti metode yang sudah ada, tetapi justru menentangnya.
Dalam lapangan ilmu-ilmu humaniora, metode yang dimanfaatkan untuk mendobrak konsep-konsep sebelumnya biasa dikenal dengan dekontruksi. Kata ini merupakan bentukan dari imbuhan “de” yang berarti merusak, dan “konstruksi” yang berarti bangunan. Arti harfiahnya, merusak bangunan yang sudah dahulu ada. Arti ilmiahnya, dekonstruksi berpandangan bahwa konsep-konsep postmodern memiliki banyak kelemahan sehingga perlu dibongkar dan ditata ulang. Misalnya dengan konsep akal sehat yang dianggap sebagai “cara berpikir yang jernih dan terpilah (clara et distincta)”, bukanlah satu-satunya metode berpikir. Sebab, akal sehat justru berasal dari keragu-raguan, bahkan berasal dari apa yang disebut Descartes dengan “ilmu dari pucuk-pucuk ketinggian”. Dominasi yang terjadi pada postmodern itu, konon berasal dari konsep ilmu yang mendasarkan diri pada faham logosentrisme, yakni kehadiran “Ada dalam tulisan”, “Yang benar”, “Ada tidak pernah terperangkah di dalam tulisan karena akan selalu luput”.




Sumber: SaifurRohman,AgusWibowo.2016.Filsafat Pendidikan Masa Depan.Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar