Sangat sering terjadi
kekerasan dalam dunia pendidikan. Kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan
oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Muatan kurikulum
yang hanya mengndalkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan
afektif menyebabkan berkurangnya proses humanisasi dalam pendidikan. Ada
beberapa hukuman yang biasa diberikan kepada siswa-siswanya seperti, kekerasan
dalam pendidikan muncul karena adanya pelanggaran oleh siswa tersebut yang
disertai dengan hukuman. Tawuran antarpelajar atau mahasiswa merupakan contoh
kekerasan. Selain itu, kekerasan dalam pendidikan tidak selamanya fisik,
melainkan bias juga berbentuk pelanggaran tata tertib di sekolah. Misalnya membolos
ketika waktu sekolah dan pergi main ataupun jalan-jalan ke tempat hiburan.
Kekerasan dalam pendidikan bias di akibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan
pendidikan yang berlaku. Muatan kurikulum yang hanya mengandalkan kemampuan
aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif menyebabkan berkurangnya
proses humanisasi dalam pendidikan. Kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh
lingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang memang belakangan ini kian
vulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan. Kekerasan bisa merupakan refleksi dari perkembangan
kehidupan masyarakat, dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh latar belakang
sosial ekonomi pelaku.
Kekerasan yang terjadi
dalam dunia pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini bukanlah sesuatu yang
muncul dengan tiba-tiba. Namun, semua itu telah tertanam kuat sejak dulu.
Sebagai contoh, masyarakat pelajar yang mengenyam dunia pendiidikan tentu masih
ingat benar dengan istilah MOS (Masa Orientasi Siswa) atau OSPEK (Orientasi
Pengenalan Kampus) dengan berbagai nama lainnya. Kedua kegiatan tersebut
senantiasa dilakukan setiap tahun untuk menyambut siswa dan mahasiswa baru.
Tujuan awalnya adalah untuk memberikan pembekalan, baik materi maupun
pengenalan lingkungan sekolah atau kampus kepada siswa maupun mahasiswa baru.
Hal ini dianggap penting untuk membantu proses belajar dan mengajar sebagai
kegiatan utama. Sayang, dalam pelaksanaannya kedua kegiatan ini justru
mengalami penyimpangan.
MOS dan OSPEK
seringkali dijadikan ajang para senior untuk menunjukkan kekuasaan dan
senioritasnya. Dalam kegiatan ini tak jarang mereka melakukan tindakan
kekerasan dan pelecehan para junior. Hukumannya seperti push up, lari keliling
lapangan atau di jemur dibawah terik matahari merupakan hal yang biasa. Ditambah
lagi dengan bentakan para senior yang kerap kali membuat kecut hati siswa atau
mahasiswa baru. Semua itu dilakukan dengan dalih untuk melatih kekuatan fisik
dan mental. Padahal jika ditelusuri lebih jauh alasan yang sebenarnya hanyalah
untuk bersenang-senang mengerjai junior dan balas dendam atas perlakuan senior
terdahulu.
Menurut Jack D. Douglas
dan Frances Chalut Waksler, istilah kekerasan (violence) dipakai untuk
menggambarkan tindakan atau perilaku baik secara terbuka (over) maupun tertutup
(covert) dan baik yang sifatnya menyerang (offensive) maupun bertahan
(defensive). Yang diikuti dengan penggunaan fisik terhadap orang lain.
Dari definisi di atas,
kita dapat menarik beberapa indicator kekerasan: pertama, kekerasan terbuka,
yaitu kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain yang dapat dilihat
dan di amati secara langsung, seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa,
dan yang berkaitan dengan tindakan fisik lainnya. Kedua, kekerasan tertutup,
yaitu kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain secara tersembunyi
seperti mengancam dan intimidasi. Ketiga, kekerasan agresif, yaitu kekerasan
yang dilakukan seseorang terhadap orang lain dengan tujuan mendapatkan sesuatu,
seperti perampokan, dll.
Ditinjau dari segi
Sosiologi Pendidikan, ada beberapa alternatif
solusi penyelesaian dan pencegahan terhadap permasalahn kekerasan dalam
dunia pendidikan, yaitu: 1) peran orang tua dan guru, 2) humanisasi pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar